Pasar Siap Sambut Inflasi AS Melandai, Rupiah Kuat

CNBC Indonesia · 14 Nov 2023 8.7K Dilihat



Jakarta, CNBC Indonesia -
Rupiah menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di tengah ekspektasi inflasi AS mulai melandai dibandingkan bulan sebelumnya.

Dilansir dari Refinitiv, rupiah ditutup menguat tipis di angka Rp15.690/US$ atau terapresiasi 0,03%. Penguatan ini mematahkan tren pelemahan yang terjadi selama lima hari beruntun sejak 7 November 2023.

Sementara indeks dolar AS (DXY) pada pukul 08.59 WIB turun tipis 0,04% menjadi 105,59. Angka ini lebih rendah dibandingkan penutupan perdagangan Senin (13/11/2023) yang berada di angka 105,63.

Tekanan terhadap mata uang Garuda masih cukup kuat meskipun hari ini ditutup menguat tipis di tengah ekspektasi inflasi AS yang diproyeksikan melandai secara tahunan.

Untuk diketahui, pelaku pasar memperkirakan inflasi AS akan melandai ke 3,3% (year on year/yoy) pada Oktober 2023 tetapi inflasi inti akan tetap berada di angka 4,1%. Inflasi melandai sebagian besar disebabkan oleh moderasi harga energi.

Namun demikian, tekanan terhadap rupiah tetap cukup kuat khususnya karena pidato dari Chairman bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell masih menjadi pemberat rupiah, akhir-akhir ini. Jerome Powell memberikan kode bahwa inflasi cukup sulit mencapai target yang ditentukan, sehingga memungkinkan adanya pengetatan kembali. Pernyataan ini mematahkan harapan pelaku pasar yang telah menyaksikan pelemahan data tenaga kerja AS sebagai indikator melunaknya The Fed.

Hal ini memberikan kekhawatiran bagi pelaku pasar khususnya di Indonesia karena jika The Fed menaikkan suku bunganya, maka selisih suku bunga acuan The Fed dengan Bank Indonesia (BI) akan semakin sempit yang berujung pada capital outflow dan semakin menekan pasar keuangan domestik termasuk rupiah.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo pun mengatakan bahwa rupiah akan tertekan dalam jangka waktu yang panjang karena dipicu oleh munculnya fenomena baru, yakni term premia atau meningkat tingginya suku bunga US Treasury karena membengkaknya utang pemerintah AS untuk kebutuhan pemulihan Covid-19 dan pembiayaan perang.

Berdasarkan catatannya, imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun telah meningkat sejak kuartal III-2023 menjadi 4,57% dari kuartal II sebesar 3,84%. Lalu pada kuartal IV naik pesat menjadi 5,16% dan baru turun pada paruh kedua 2024 menjadi 4,87%.

Akibat kondisi ini ia mengatakan, aliran modal dari negara-negara berkembang atau emerging market terus keluar menuju aset-aset likuid di negara maju, terutama dolar AS. Kondisi ini menyebabkan fenomena strong dollar.

Indeks dolar AS atau DXY pun menurutnya masih akan berada di level 107 pada kuartal IV-2023 dari kuartal III sebesar 103,3.

"Itu adalah penguatan dolar dan tahun depan kemungkinan mulai melemah tapi masih tinggi 102,1 dan fenomena-fenomena ini memerlukan upaya ekstra keras dari emerging market, termasuk Indonesia untuk menjaga ketahanan ekonomi," tegas Perry.

Menyarankan